Transisi ke Energi Hijau Butuh Dana Besar

Pemerintah tengah mengupayakan jalankan transisi energi dari pemanfaatan energi fosil ke energi hijau dengan Flow Meter. Namun, kendala yang mesti dihadapi dalam jalankan transisi energi adalah biayanya yang mahal.

Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah mengatakan, butuh dana yang besar untuk mampu mengoperasikan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).

Tentunya bersama menyaksikan keadaan keuangan negara, hal itu tak amat mungkin untuk ditanggung pemerintah saja. “Finansial ini memang satu sisi yang cukup besar, dikarenakan transisi menuju green economi itu memerlukan cost yang bukan cukup besar, tetapi amat besar

Menurutnya, mesti tersedia keterlibatan pihak swasta untuk mampu mendorong transisi energi di Indonesia mampu amat berjalan. Kolaborasi antara pemerintah dan swasta diyakini mampu mengatasi persoalan mahalnya cost transisi ke energi hijau.

Alin menilai, pemerintah mesti menjadi pemantik untuk menyebabkan minat swasta masuk ke sektor energi terbarukan. Hal itu mampu ditunaikan bersama pememberikan beragam insentif menarik yang menyebabkan swasta menginginkan mengembangkan pembangkita berbasis energi terbarukan. “Jangan seluruh diberikan bebannya kepada pemerintah, tetapi pemerintah mesti mengimbuhkan pemicu kepada swasta sehingga ikut bergerak (mendukung transisi energi), maka mesti betul jenis insentif yang diberikan,” kata dia.

Ia mengatakan, pembangkit energi terbarukan merupakan hal baru yang tengah dikembangkan sehingga skalanya terbilang tetap kecil dan sulit ditunaikan efisiensi. Namun, jikalau banyak pihak yang terlibat dan pengembangan tambah intens maka dapat amat mungkin ke depannya untuk mampu ditunaikan efisiensi seoptimal mungkin.

Tak cuma mendorong swasta untuk menunjang transisi energi, Alin menilai, pemerintah terhitung mesti mendorong swasta untuk menggerakkan praktek environmental, social, and governance (ESG) atau lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam sistem bisnisnya. Hal itu untuk menghimpit dampak kerusakan lingkungan dari sistem usaha yang dilakukan.

Selain itu, untuk menunjang obyek Indonesia turunkan emisi sebanyak 29 % di 2030 dan meraih emisi nol atau net zero emission pada 2060. “Kebanyakan kerusakan itu dikarenakan kegiatan produksi, maka bagaiman caranya menyebabkan perusahaan jalankan kegiatan bisnisnya atau produksinya secara bertanggung jawab. Tidak boleh cuma cuman menyita keuntungan, tetapi terhitung mesti meminimalisir dampaknya,” kata Alin.